09 Oktober 2008

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

GKJ Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah di Kota Solo, Jawa Tengah, sejak sekitar 60 tahun lalu berdiri berdampingan. Umat dari dua tempat ibadah itu pun hidup berdampingan. Bahkan, gereja dan masjid ini menggunakan alamat yang sama, yakni Jalan Gatot Subroto 222, Kampung Joyodiningratan, Kratonan, Serengan, Solo.


Mereka membangun harmoni kehidupan dengan saling menghargai. Bagi pihak gereja, mendengarkan suara azan pada saat khotbah sudah menjadi hal biasa. Begitu juga bagi jemaah masjid, mendengar paduan suara dari gereja juga sudah biasa. Jemaah shalat Id yang memenuhi jalan raya, termasuk area depan gereja, sudah biasa terja
di.

Tak heran, walau pemimpin di gereja maupun pengurus masjid telah berganti-ganti, kedua tempat ibadah ini tetap eksis hingga sekarang. Ketika hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Minggu, demi menghormati umat yang mengikuti shalat Id di Masjid Al Hikmah, pihak GKJ meniadakan kebaktian pagi hari.

"Biasanya setiap Minggu kebaktian dilakukan empat kali. Namun, kalau hari Minggu itu bertepatan dengan shalat Idul Fitri, maka khusus kebaktian pukul 06.30 kami tiadakan," tutur Pendeta Widiatmo Herdjanto STh, Pendeta Jemaat GKJ Joyodiningratan yang memimpin gereja tersebut selama 20 tahun.

Jika perayaan Natal berlangsung, biasanya urusan parkir kendaraan dari jemaat gereja dibantu pemuda masjid. Bahkan, ketika seorang pendeta di GKJ Joyodiningratan meninggal, pengurus Masjid Al Hikmah menyediakan tempat parkir di sekitar masjid.

Tugu lilin
Kerukunan umat Masjid Al Hikmah dan GKJ Joyodiningratan disimbolkan dengan tugu berbentuk lilin yang didirikan persis di antara tembok gereja dan masjid. Tugu itu dibuat sebagai komitmen pihak masjid dan gereja untuk selalu menjaga hubungan baik.

Masjid Al Hikmah dibangun tahun 1947 di atas tanah milik Haji Ahmad Zaini. Adapun gedung GKJ dibangun tahun 1929.

"Almarhum bapak mertua saya punya tanah persis di samping gereja. Ia lalu menyampaikan izin membangun masjid di tanah itu. Sekarang masjid diwakafkan untuk umat," ujar Gusti Nur Aida (60) yang tinggal di Joyodiningratan sejak 1967.

Pendeta gereja dari masa ke masa telah biasa memenuhi undangan halal bihalal yang diadakan warga kampung setempat. Hubungan antarumat juga terjalin cukup erat. "Kalau Lebaran saya dikirim roti oleh tetangga-tetangga yang non-Muslim. Gantian saat Natal, saya kirim kue ke tempat mereka," ungkap Gusti.

Umat masjid dan gereja pernah bahu-membahu membantu korban gempa Yogyakarta dan Klaten tahun 2006. "Waktu itu masjid sedang membuat acara bakti sosial untuk korban gempa. Gereja dan tetangga yang non-Muslim ikut memberi bantuannya," ungkap Ketua Takmir Masjid Al Hikmah M Nasir (45).

Ayah Nasir, Abu Bakar, adalah salah satu yang terlibat dalam kesepakatan menjaga hubungan harmonis antara gereja dan masjid. "Waktu masjid mau ditingkat, kami menyampaikan dan minta izin ke pendeta. Begitu juga sebaliknya, saat gereja mau ditingkat, mereka datang dan minta izin ke sini," sebut Nasir.

Menurut Nasir, pernah ada usaha provokasi dari pihak luar. Namun, latar belakang dan sejarah hubungan keduanya yang sudah terjalin baik menjadi penangkal hasutan tersebut.

"Tugu lilin itu punya makna dalam. Setiap kali melihatnya, kami teringat bahwa bapak ibu kami dulu telah membangun fondasi hubungan yang baik. Jangan sampai itu rusak dalam sekejap. Hubungan seperti ini sangat indah," kata Nasir.

(sumber : http://www.gkj.or.id)



10 September 2008

PERUSAKAN KANTOR PGI

Selasa, 26 Agustus 2008
1. Sepanjang tiga minggu terakhir, sebanyak 200-an Satpol PP dan Polisi berjaga-jaga di sepanjang Jalan Diponegoro, jalan samping kiri kantor PGI Salemba 10 Jakarta. Satpol PP tersebut, menurut penjelasan, bertugas untuk membebaskan sepanjang Jalan Diponegoro dari pedanggang kaki lima.

2. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) memajang spanduk anti perda ketertiban umum, yang dianggap menyengsarakan rakyat miskin, di pintu masuk sekretariat GMKI menghadap Jalan Diponegoro. Satpol PP menurunkan spanduk tersebut yang menimbulkan keberatan dari pihak GMKI.

3. Tidak diketahui siapa yang memulai, terjadi keributan di antara Satpol PP dan GMKI. Tiba-tiba, antara 15.30-16.10, gedung kantor PGI dilempari dengan batu-batu, yang dilakukan oleh sekitar 200-an anggota Satpol PP. Keributan terjadi dengan disaksikan polisi yang berjaga di jalan Diponegoro.

Rupanya, Satpol PP tersebut berupaya mengejar sekitar 15 anggota GMKI yang lari masuk ke sekretariat GMKI yang berada di sisi kanan kantor PGI. Namun yang mereka lakukan adalah penghancuran gedung secara membabi buta oleh sekitar 200-an polisi pamongpraja tersebut. Akibatnya, kaca-kaca jendela di ruang sidang PGI dan ruang depan hancur berantakan, demikian juga beberapa sepeda motor karyawan PGI turut menjadi korban penyerangan tersebut.

4. Sore itu juga Sekum PGI mengadakan konferensi pers dengan beberapa media yang sudah ada di lokasi pada saat kejadian. Sekum PGI juga melaporkan kejadian tersebut ke Polres Jakarta Pusat.

Rabu, 27 Agustus 2008
5. Atas undangan Sekum PGI, KH Hasyim Muzadi mengunjungi PGI dan menyampaikan rasa emphatinya yang mendalam atas kerusakan kantor PGI. Beliau juga sangat menyesalkan peristiwa tersebut. Demikian juga pimpinan PGLII dan PGPI.

6. Atas desakan Sekum PGI, sekitar pukul 09.30 Wakil Gubenur DKI Jakarta datang ke kantor PGI untuk melihat langsung dampak kerusakan. Pada kesempatan itu, Wakil Gubernur menyampaikan permintaan maaf Pemprov. DKI Jakarta atas kejadian tersebut dan akan segera mengganti semua kerusakan yang terjadi. Beliau juga memohon agar PGI beserta semua yang terkait tidak memperpanjang masalah ini.

Di tengah apresiasi Sekum PGI atas respon cepat Pemprof DKI atas persoalan ini, Ketum PGI menyesalkan kejadian tersebut karena tidak semestinya aparat pemerintah bertindak anarkis dalam menyelesaikan masalah.

7. Menjelang sore anggota DPR Enggartiasto dari Fraksi Partai Golkar dan Ara Sirait dari Fraksi PDIP berkunjung untuk melihat langsung dampak serbuan Satpol PP. Demikian juga Constantin Ponggawa dari Fraksi PDS menyampaikan keprihatinan yang mendalam. Sementara wartawan dari berbagai media terus bergantian datang untuk mencari keterangan.

8. Malam hari, Gubenur DKI, Fauzi Bowo, melalui Humas Pemprov DKI menyampaikan kepada Sekum yakni :
a. penyimpangan tidak dapat dibenarkan. Aparat Pemprov. DKI Jakarta yang menyimpang akan diberi sanksi sesuai dengan kesalahannya.
b. Setiap pelaksanaan penertiban di lapangan adalah dalam rangka Penegakan Hukum.
c. Pemprov DKI Jakarta meminta maaf atas kejadian di lapangan dan segala kerusakan menjadi tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta.
d. Mohon dukungan PGI (dan unsur-unsur dalam koordinasi PGI) untuk bersama-sama bersatu menegakkan Hukum.

Kamis, 28 Agustus 2008
9. Puing-puing kaca yang berserakan masih terlihat, dan belum ada keputusan untuk bisa dibersihkan. Tampak satpol PP yang berjaga jumlahnya dua kali lipat dari dua hari sebelumnya. Demikian juga banyak terlihat aparat Polisi dan TNI.

10. Sekitar pukul 11.00, Satpol PP masuk ke sekretariat GMKI namun diminta keluar oleh staf sekretariat GMKI. Setelah itu gedung GMKI persis belakang kantor PGI yang masih sengketa dirobohkan oleh buldoser. Gedung PGI bergetar karena boldoser yang merobohkan gedung tersebut.

11. Pukul 14.00 kembali terjadi penyerangan oleh satpol PP ke gedung kantor PGI, lebih hebat dari dua hari sebelumnya. Hampir semua kaca jendela depan kantor PGI hancur. Ruang tamu Ketua Umum dan Sekum hancur, demikian juga pintu dan kusen loby kantor dan ruang Satpam PGI hancur.

Jumat,29 Agustus 2008
12. Kamis malam hari pukul 24.00 hingga pukul 01.00 dini hari Jumat. Sekum PGI bertemu dengan walikota Jakarta Pusat di hotel Akasia. Dalam pertemuan tersebut Sekum. mendesak walikota Jakarta Pusat agar
1. Segala aktivitas kegiatan pembokaran dan kegiatan satpol PP di sepanjang jalan Diponegoro dihentikan agar suasana kondusif.
2. Sektretariat Persekutuan gereja-gereja di Indonesia yang menjadi pusat aktivitas warga Kristiani di Indonesia direhabilitasi sesegera mungkin.

13. Pada pukul 08.00 – 09.00 Sekum, Ketua Pdt. Dr. Jan S Aritonang serta bendahara Pdt. Kumala Setyabrata bertemu wakil Presiden RI. H Yusuf Kala dikediamannya. Dalam pertemuan tersebut. PGI menyampaikan kekecewaannya atas perusakan Sekretariat PGI jilid kedua (Kamis, 28 Agustus 2008)

Wapres menginstruksikan langsung ke Gubernur DKI Jakarta agar menjaga keamanan Sekretariat PGI dan segera merehabilitasinya. Dalam percakapan tersebut Wapres juga menyampaikan setelah Kantor PGI selesai direhabilitasi Menteri Agama RI dan Gubernur DKI Jakarta segera berkunjung ke sekretariat PGI, Salemba Raya 10. Hal ini penting karena yang hancur dan luka tidak hanya gedung dan bangunan namun hati umat Kristen di Indonesia.

14. Sejak kejadian tersebut, hampir seluruh gereja-gereja di Indonesia menyampaikan keprihatinan mendalam atas kejadian tersebut. Gereja-gereja menilai bahwa pengrusakan atas kantor PGI merupakan peristiwa yang sangat menusuk hati umat Kristen karena gedung Salemba 10 merupakan simbol keberadaan gerakan oikumene di Indonesia.

Jakarta, 29 Agustus 2008

Sumber: Adri (Litkom PGI)

13 Agustus 2008

Perubahan Pengakuan Iman Rasuli (PIR)

(Sebuah usulan dalam Sidang Sinode GKJ XXIV dari GKJ Klasis Jakarta Bagian Timur)

Adanya keinginan mengubah teks Pengakuan Iman Rasuli (PIR) perlu dihargai dan disambut baik. Hal itu mengindikasikan bahwa kita tidak ingin begitu saja menelan mentah-mentah pengakuan iman yang telah kita warisi dari para pendahulu kita. Sebagai orang Kristen Indonesia, yang sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, agaknya kita perlu bertanya apakah pengakuan iman itu cukup dimengerti tidak hanya oleh kita, tetapi juga orang-orang berkepercayaan lain.

Meski demikian, jangan sampai kita bertindak gegabah. Sebab pengubahan rumusan PIR tidak hanya berarti pengubahan pengakuan iman an sich.. Tapi lebih tepat sebagai pengubahan penerjemahan. Sehingga, berkenaan dengan rencana peng-ubahan, kita perlu mempertanyakan kembali PIR dalam bahasa aslinya. Ringkasnya: apakah penerjemahannya pun sudah memperhitungkan bagaimana suatu kata itu dimengerti dalam konteks aslinya.

Sehubungan dengan keinginan pengubahan “daripada” ke “dari” dalam rumusan PIR, yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria dapat disampaikan sebagai berikut.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan WJS Poerwa-darminta (1976) lema “daripada” tertulis daripada: → dari. Tanda panah (→) di sini artinya lihat.. Dalam KUBI, makna kata “daripada” memang tidak berbeda jauh, alias sama dengan kata “dari”.

Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, edisi II, 1991; edisi III, 2001), dinyatakan di sana bahwa kata “daripada” merupakan kata depan untuk menandai perbandingan. Sebagai contoh: daripada mencuri lebih baik meminta; buku ini lebih bagus daripada buku itu. Sehingga pemakaian kata “daripada” dalam PIR, yang dikandung daripada Roh Kudus, agaknya memang kurang tepat. Pemakaian kata daripada di sini akan menjadi rancu dan membingungkan, dan tidak sesuai dengan perkembangan bahasa. Demikian pulalah alasan Sinode GKI yang telah mengubah rumusan PIR itu menjadi yang dikandung dari Roh Kudus.

Bagaimana jika kata “daripada” diubah dengan kata “oleh” atau “melalui”? Pengubahan dengan kata 'oleh', yang rumusannya menjadi yang dikandung oleh Roh Kudus, terlalu berbahaya. Sebab, banyak orang akan menganggapnya sebagai kalimat pasif, dan jika diubah menjadi kalimat aktif akan menjadi Roh Kudus mengandung yang (Yesus Kristus).. Lebih aneh lagi, sebab yang mengandung Roh Kudus, tetapi yang melahirkan-Nya adalah Maria. Semakin rancu dan membingungkan.

Sedangkan rumusan yang dikandung melalui Roh Kudus memberikan kesan bahwa Roh Kuduslah wahana atau sarananya. Sesungguhnya, Marialah yang menjadi sarana itu. Kata “dari” dalam KBBI dapat berarti (1) kata yang mengatakan asal kedatangan, (2) oleh karena; disebabkan oleh. Agaknya, pengubahan dari kata “daripada” ke “dari” lebih bertanggung jawab dan lebih kena pemahaman teologis-nya ketimbang kata “oleh” dan “melalui”.

Itulah juga kata yang dipakai oleh Lembaga Alkitab dalam penerjemahan Alkitab TB dan TB-2: “… sebab anak yang dikandungnya adalah dari Roh Kudus” (Mat. 1:20). Memang dalam terjemahan TL masih dipakai kata “daripada”: “…karena kandungannya itu terbitnya daripada Rohul Kudus…” Kita harus ingat bahwa warga jemaat lebih sering menggunakan Alkitab ketimbang buku-buku dogma. Alangkah baiknya, jika kata yang dipakai dalam PIR, selain seturut zaman juga sama dengan yang tertulis dalam Alkitab. Sekali lagi, supaya tidak membingungkan!

Berkaitan dengan kemungkinan pengubahan kebangkitan daging menjadi kebangkitan orang mati, pembahasannya tidak sederhana. Sinode GKI sedikitnya mempunyai 2 alasan sewaktu mengubah kebangkitan daging dengan kebangkitan orang mati. Pertama, kalau kita bicara mengenai “daging”, kesannya memang hanya sepotong atau sebagian dari tubuh. Itulah juga yang terdapat dalam KBBI. Pada lema daging tertulis (1) gumpal (berkas) lembut yang terdiri atas urat-urat pada tubuh manusia atau binatang (di antara kulit dan tulang); (2) bagian tubuh binatang sembelihan yang dijadikan makanan; (3) tubuh manusia (sebagai imbangan jiwa atau batin); (4) bagian dari buah lunak di bawah kulit yang biasanya boleh dimakan.

Kedua, dalam rangka misi, ungkapan kebangkitan orang mati lebih tepat karena penganut agama Islam tidak mengenal kebangkitan daging, namun mereka percaya bahwa orang mati akan bangkit.

Kedua alasan itu sangat logis dan kena mengena dalam rangka misi. Meskipun demikian, kita perlu menelaah kembali mengapa para pendahulu kita menggunakan kata “daging” sebagai terjemahan sarx dalam bahasa Yunani.

Van Niftrik dan Boland, dalam buku Dogmatika Masa Kini (cet. ke-2, 1967, hlm. 395-406), menyatakan bahwa kata 'sarx' memang sulit mendapatkan padanan-nya dalam bahasa Indonesia. Dalam terjemahan Bode (TL), sarx misalnya diterjemahkan dengan manusia (Yoh. 1:14), keadaan tubuh (Rm. 7:14), tabiat dunia-wi (Rm. 8:12), keadaan manusia (Mat. 16:17), rupa orang (Yoh. 8:15). Sedangkan terjemahan dalam TB dan TB 2, berturut-turut ialah: manusia, bersifat daging, daging, manusia, manusia. Menurut Niftrik, agaknya satu-satunya jalan ialah, kata itu kita terjemahkan saja secara aksara, yakni dengan kata daging, lalu berusaha mengisi kata itu berdasarkan arti kata sarx di dalam Alkitab, sehingga lama-kelamaan menjadi istilah teologi yang dapat dipergunakan di lapangan gerejani. (Bukankah kata-kata daging, kedagingan sudah mulai mendapat juga arti kiasan, sehingga lebih luas daripada daging yang dapat dibeli di pasar? (hlm. 399).

Di dalam Alkitab, tambah Niftrik, kata daging tidak saja mengenai tubuh manusia, tetapi meliputi segenap manusia. Daging ialah manusia yang utuh sebagai-mana dijadikan Allah. Daging itu meliputi baik tubuh maupun jiwa manusia. Bukan salah satu. Kedua-duanya.

Janganlah pula kita lupa, orang Yunani memahami bahwa tubuh itu adalah penjara (soma sema). Bagi mereka ada perbedaan yang hakiki antara jiwa dan tubuh. Dan Alkitab, kabar baik itu, menyatakan bahwa tubuh manusia bukanlah penjara. Manusia itu merupakan suatu kesatuan baik jiwa maupun tubuhnya. Agaknya, kita tidak perlu mengubah kata “daging” menjadi “orang mati”. Yang harus senantiasa kita upayakan ialah penjelasan dari apa yang kita maksudkan dengan ungkapan “kebangkitan daging” itu. Katekisasi tidak mengenal kata berakhir!

Perumus :
yoel m. indrasmoro
o. heri prasteyo n.