13 Agustus 2008

Perubahan Pengakuan Iman Rasuli (PIR)

(Sebuah usulan dalam Sidang Sinode GKJ XXIV dari GKJ Klasis Jakarta Bagian Timur)

Adanya keinginan mengubah teks Pengakuan Iman Rasuli (PIR) perlu dihargai dan disambut baik. Hal itu mengindikasikan bahwa kita tidak ingin begitu saja menelan mentah-mentah pengakuan iman yang telah kita warisi dari para pendahulu kita. Sebagai orang Kristen Indonesia, yang sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, agaknya kita perlu bertanya apakah pengakuan iman itu cukup dimengerti tidak hanya oleh kita, tetapi juga orang-orang berkepercayaan lain.

Meski demikian, jangan sampai kita bertindak gegabah. Sebab pengubahan rumusan PIR tidak hanya berarti pengubahan pengakuan iman an sich.. Tapi lebih tepat sebagai pengubahan penerjemahan. Sehingga, berkenaan dengan rencana peng-ubahan, kita perlu mempertanyakan kembali PIR dalam bahasa aslinya. Ringkasnya: apakah penerjemahannya pun sudah memperhitungkan bagaimana suatu kata itu dimengerti dalam konteks aslinya.

Sehubungan dengan keinginan pengubahan “daripada” ke “dari” dalam rumusan PIR, yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria dapat disampaikan sebagai berikut.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan WJS Poerwa-darminta (1976) lema “daripada” tertulis daripada: → dari. Tanda panah (→) di sini artinya lihat.. Dalam KUBI, makna kata “daripada” memang tidak berbeda jauh, alias sama dengan kata “dari”.

Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, edisi II, 1991; edisi III, 2001), dinyatakan di sana bahwa kata “daripada” merupakan kata depan untuk menandai perbandingan. Sebagai contoh: daripada mencuri lebih baik meminta; buku ini lebih bagus daripada buku itu. Sehingga pemakaian kata “daripada” dalam PIR, yang dikandung daripada Roh Kudus, agaknya memang kurang tepat. Pemakaian kata daripada di sini akan menjadi rancu dan membingungkan, dan tidak sesuai dengan perkembangan bahasa. Demikian pulalah alasan Sinode GKI yang telah mengubah rumusan PIR itu menjadi yang dikandung dari Roh Kudus.

Bagaimana jika kata “daripada” diubah dengan kata “oleh” atau “melalui”? Pengubahan dengan kata 'oleh', yang rumusannya menjadi yang dikandung oleh Roh Kudus, terlalu berbahaya. Sebab, banyak orang akan menganggapnya sebagai kalimat pasif, dan jika diubah menjadi kalimat aktif akan menjadi Roh Kudus mengandung yang (Yesus Kristus).. Lebih aneh lagi, sebab yang mengandung Roh Kudus, tetapi yang melahirkan-Nya adalah Maria. Semakin rancu dan membingungkan.

Sedangkan rumusan yang dikandung melalui Roh Kudus memberikan kesan bahwa Roh Kuduslah wahana atau sarananya. Sesungguhnya, Marialah yang menjadi sarana itu. Kata “dari” dalam KBBI dapat berarti (1) kata yang mengatakan asal kedatangan, (2) oleh karena; disebabkan oleh. Agaknya, pengubahan dari kata “daripada” ke “dari” lebih bertanggung jawab dan lebih kena pemahaman teologis-nya ketimbang kata “oleh” dan “melalui”.

Itulah juga kata yang dipakai oleh Lembaga Alkitab dalam penerjemahan Alkitab TB dan TB-2: “… sebab anak yang dikandungnya adalah dari Roh Kudus” (Mat. 1:20). Memang dalam terjemahan TL masih dipakai kata “daripada”: “…karena kandungannya itu terbitnya daripada Rohul Kudus…” Kita harus ingat bahwa warga jemaat lebih sering menggunakan Alkitab ketimbang buku-buku dogma. Alangkah baiknya, jika kata yang dipakai dalam PIR, selain seturut zaman juga sama dengan yang tertulis dalam Alkitab. Sekali lagi, supaya tidak membingungkan!

Berkaitan dengan kemungkinan pengubahan kebangkitan daging menjadi kebangkitan orang mati, pembahasannya tidak sederhana. Sinode GKI sedikitnya mempunyai 2 alasan sewaktu mengubah kebangkitan daging dengan kebangkitan orang mati. Pertama, kalau kita bicara mengenai “daging”, kesannya memang hanya sepotong atau sebagian dari tubuh. Itulah juga yang terdapat dalam KBBI. Pada lema daging tertulis (1) gumpal (berkas) lembut yang terdiri atas urat-urat pada tubuh manusia atau binatang (di antara kulit dan tulang); (2) bagian tubuh binatang sembelihan yang dijadikan makanan; (3) tubuh manusia (sebagai imbangan jiwa atau batin); (4) bagian dari buah lunak di bawah kulit yang biasanya boleh dimakan.

Kedua, dalam rangka misi, ungkapan kebangkitan orang mati lebih tepat karena penganut agama Islam tidak mengenal kebangkitan daging, namun mereka percaya bahwa orang mati akan bangkit.

Kedua alasan itu sangat logis dan kena mengena dalam rangka misi. Meskipun demikian, kita perlu menelaah kembali mengapa para pendahulu kita menggunakan kata “daging” sebagai terjemahan sarx dalam bahasa Yunani.

Van Niftrik dan Boland, dalam buku Dogmatika Masa Kini (cet. ke-2, 1967, hlm. 395-406), menyatakan bahwa kata 'sarx' memang sulit mendapatkan padanan-nya dalam bahasa Indonesia. Dalam terjemahan Bode (TL), sarx misalnya diterjemahkan dengan manusia (Yoh. 1:14), keadaan tubuh (Rm. 7:14), tabiat dunia-wi (Rm. 8:12), keadaan manusia (Mat. 16:17), rupa orang (Yoh. 8:15). Sedangkan terjemahan dalam TB dan TB 2, berturut-turut ialah: manusia, bersifat daging, daging, manusia, manusia. Menurut Niftrik, agaknya satu-satunya jalan ialah, kata itu kita terjemahkan saja secara aksara, yakni dengan kata daging, lalu berusaha mengisi kata itu berdasarkan arti kata sarx di dalam Alkitab, sehingga lama-kelamaan menjadi istilah teologi yang dapat dipergunakan di lapangan gerejani. (Bukankah kata-kata daging, kedagingan sudah mulai mendapat juga arti kiasan, sehingga lebih luas daripada daging yang dapat dibeli di pasar? (hlm. 399).

Di dalam Alkitab, tambah Niftrik, kata daging tidak saja mengenai tubuh manusia, tetapi meliputi segenap manusia. Daging ialah manusia yang utuh sebagai-mana dijadikan Allah. Daging itu meliputi baik tubuh maupun jiwa manusia. Bukan salah satu. Kedua-duanya.

Janganlah pula kita lupa, orang Yunani memahami bahwa tubuh itu adalah penjara (soma sema). Bagi mereka ada perbedaan yang hakiki antara jiwa dan tubuh. Dan Alkitab, kabar baik itu, menyatakan bahwa tubuh manusia bukanlah penjara. Manusia itu merupakan suatu kesatuan baik jiwa maupun tubuhnya. Agaknya, kita tidak perlu mengubah kata “daging” menjadi “orang mati”. Yang harus senantiasa kita upayakan ialah penjelasan dari apa yang kita maksudkan dengan ungkapan “kebangkitan daging” itu. Katekisasi tidak mengenal kata berakhir!

Perumus :
yoel m. indrasmoro
o. heri prasteyo n.